Decy Widjaya: Ada Pilot Lion Diminta Terbang di Luar Batas Jam

HPK taruh disini

Decy C. Widjaya punya pengalaman berselisih dengan Lion Air pada 2016. Ketika itu, suaminya yang pilot Lion Air, Hasan Basri, harus berhadapan dengan perusahaan karena sengketa hubungan industrial.

Pengalaman itu lantas ia tuliskan dalam buku Flight Insight: Buruk Maskapai, Pilot Dibelah. Di situ, Decy menyebut Lion Air memaksa pilot bekerja melebihi jam terbang.

“Jadi kadang-kadang (diminta terbang) pakai bahasa teman sehingga pilot sungkan. Sebenarnya sudah masuk rest hour tapi diminta tolong terus,” kata Decy dalam perbincangan dengan kumparan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (2/11).

Padahal seorang pilot memiliki tugas yang sangat vital, dan kelelahan bisa menjadi salah satu penyebab pesawat celaka. Pilot turut menentukan laik tidaknya pesawat untuk terbang.

Menurut pengamat penerbangan Gerry Soejatman, faktor kelelahan pilot menjadi salah satu perhatian ketika sebuah kecelakaan terjadi. Kondisi pilot Bhavye Suneja di belakang kemudi Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang, Senin (29/10), bakal menjadi salah satu bahan investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi.

“Nanti investigasi akan melihat, seberapa capek pilot dan kopilot tersebut. Dari terbang terakhir kapan, dia punya resting hour bagaimana dalam tujuh hari terakhir, itu dilihat untuk menilai apakah ada risiko dari fatigue (kelelahan),” jelas Gerry.

Kondisi pilot makin jadi sorotan terutama setelah data kejanggalan gaji pilot diungkap BPJS Ketenagakerjaan―yang menyebut gaji pilot Lion Air hanya Rp3,6 juta.

Presiden Direktur Lion Air, Edward Sirait, membantah besaran gaji itu. Menurutnya, gaji pilot asing di maskapainya mencapai US$9 ribu hingga US$ 11 ribu, atau sekitar Rp135 juta per bulan.

Namun, di balik perbedaan besaran gaji yang tercatat antara BPJS Ketenagakerjaan dengan maskapai itu, muncul pertanyaan berikutnya soal anggaran: anggaran apa saja yang dipangkas perusahaan untuk menghemat biaya operasional?

Decy yang pernah bersentuhan dengan ragam problem yang dihadapi suaminya, mantan pilot Lion Air, berbagi cerita. Ia khawatir perusahaan Lion tak berubah banyak sejak berselisih dengan 18 pilotnya pada 2016―yang berujung pada pemecatan terhadap mereka, termasuk suaminya.

Namun, ia tak mau menghakimi karena tak lagi mengetahui soal perkembangan Lion Air kini. Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Decy.

Apa saja permasalahan yang Anda temukan selama mendampingi para pilot?

Pertama,case-nya adalah para pilot ini mencoba membuat serikat pekerja. Saat itu serikat pekerja mendorong beberapa hal, salah satunya adalah skema pay to fly yang harus dihilangkan, terus sistem pembayaran yang lebih transparan, terutama seperti BPJS dan penegakkan regulasi soal fly hour.

(Yang saya tulis) di buku, spesifik kasus Lion (2016) kemarin. Kasus itu ada dua bagian besar. Bagian pertama larinya ke sistem dalam sebuah maskapai. Yang kedua personal-personal pilot yang mengalami.

Kalau bicara ke sistem, saya tidak tahu Lion Air sekarang, sangat tidak fair menilai mereka sekarang. Ini dua tahun yang lalu.

Apa yang dialami 18 pilot yang kemudian saya tulis kisahnya itu diawali, contohnya, soal biaya angkutan.

Bisa cerita lebih spesifik soal itu―tunggakan penggantian ongkos pilot?

Waktu itu manajemen menjanjikan untuk membayarkan dengan sistem di depan. Rp5 juta untuk ongkos. Nanti di-top up atau di-top down sesuai yang mereka pakai. Sekali jalan.

Yang kedua kali, nggak dibayarkan. Nampaknya uang kecil, tapi kan ke depan-depan kami nombok. Dari direksi bilang bahwa kalau mereka ingkar, dalam arti mundur atau apa, mereka membayarkan 10 kali dari itu.

Jangankan 10 kali, yang berikutnya benar-benar tidak dibayarkan. Nah, ketika ditanya alasannya, dijawab waktu itu tanggal merah kalau enggak salah, jadi mundur. Oke, para pilot mau menunggu.

Hari berganti, setelah itu mereka tanya lagi. Tapi tidak ada jawaban. Lantas, mereka tidak mau terbang kalau tidak ada uangnya. Sampai magrib itu tidak ada kabar juga. Mereka udah mulai ngomong: udah, kita akan delay. Bukan mogok terbang loh, tapi delay sampai ongkos dibayarkan.

Di pagi hari memang terjadi delay. Waktu itu semua delay minta kepastian. Kemudian dibujuk, ada beberapa pilot yang sudah mulai dibayar. Setelah beberapa orang dibayar, mereka langsung terbang. Jadi delay hanya menunjukkan sikap. Enggak ada hubungan dengan mogok.

Namun, ada yang terkena SA (situational awareness) juga. SA itu sebetulnya adalah istilah standby, di mana kalau pilot di-SA-kan tuh untuk standby terbang. Jadi dia tidak libur, tapi harus standby. Dan biasanya jamnya terbatas. Tapi ini sekian bulan di-SA-kan, tidak ada kepastian. Tidak diterbangkan.

Beberapa pilot lalu mulai dipersuasi, dari mulai yang persuasif sampai yang intimidatif, harus datang untuk tanda tangan menyatakan diri bersalah―bersama istrinya ibunya atau siapanya, menyatakan tidak terlibat dalam gerakan apa pun. Padahal tidak ada mogok.

Sampai akhirnya di media saat itu maskapai menyatakan mem-PHK beberapa orang di antara 18 pilot.

Apa dampak tunggakan penggantian ongkos kepada para pilot?

Nampaknya sepele. Persoalannya adalah, sudah beberapa kejadian, manajemen tidak memenuhi janjinya. Pakai taksi, reimburse dulu. Kan itu mengganggu psikologi pilot.

Yang ideal itu pekerja-pekerja di mana nyawa orang digantungkan, harusnya ketika dia terbang, dia clear head―tidak punya beban apa pun. Tidak dengan hati yang berat. Sehingga dalam peraturan jelas ketika dia dalam kondisi mentally imbalance, artinya tidak tenang, sebagian boleh menolak terbang. Karena ada sekian nyawa yang ada di tangan dia.

Sebetulnya hal-hal dalam sistem maskapai menjadi penting diperhatikan karena akan mempengaruhi mentalitas pekerja. Itu kerja di mana pun, kalau nggak nyaman emang enak? Tunjangan belum dibayar, BPJS dilaporkan tidak benar, dan sebagainya, nyaman enggak?

Kita ini punya anak, punya istri. Dalam seminggu itu hanya sekali-dua kali bertemu. Hampir bisa dipastikan ketemu dalam satu tahun bisa dihitung jari. Kadang hari raya justru hari mereka bekerja. Bahwa mereka dibayar mahal karena ada banyak nyawa di tangan mereka, tidak. Mereka sudah menjual kehidupan sosial mereka.

Apalagi kalau sudah begitu, jam terbang dilahap juga. Mereka hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya sendiri. Happy nggak? Mikir anak. Maskapai juga harus dilihat bukan sekadar sudah bayar gaji, bukan soal itu. Harus suasana kerja yang nyaman.

Pilot juga mengeluhkan jam terbang berlebih?

Mudah kok memeriksanya. Bagitu juga regulator, karena ada logbook. Selain itu, setiap pilot kan memiliki aplikasi, dan hampir semua maskapai memakai aplikasi tersebut.

Jadi, kalau aplikasi itu betul tidak diutak-atik, sebenarnya mudah dimasukkan namanya si A jam terbang segini, dia akan di-block secara otomatis. Tidak boleh terbang ketika sudah sampai sekian jam.

Kadang-kadang (diminta terbang) pakai bahasa teman sehingga pilot sungkan. Sebenarnya sudah masuk rest hour, tapi diminta tolong terus.

Kesehatan kru, termasuk awak kabin dan pilot, adalah hal utama. Kami sangat concern dengan safety. Tidak benar kru dipaksa terbang
 - Danang Mandala Prihantoro, Humas Lion Air

Ketika orang terbang dipaksa, kalau tidak terbang diancam dengan sanksi perjanjian kerja dan sebagainya, apa iya bisa terbang nyaman?

Kalau uang kerja tidak lagi menjanjikan kenyamanan, maka dengan sendirinya mentalitas akan berubah. Itu baru satu hal.

Kau kita mau adil, tidak cuma Lion. Ada banyak maskapai kita pola pay to fly. Banyak penerbang asing kerja di Indonesia karena mengejar jam terbang. Karena untuk terbang di negara asalnya, mereka harus terbang berapa jam dulu untuk masuk ke maskapai negara tersebut. Cari jam terbangnya itu di kita.
 - Decy C. Widjaja, penulis “Flight Insight: Buruk Maskapai, Pilot Dibelah”

Banyak pilot-pilot kita yang pada akhirnya kehilangan kesempatan bekerja karena diambil oleh mereka yang sanggup membayar. Persoalannya kompleks betul di dunia penerbangan kita.

Ada pilot muda, karena ingin mengejar jabatan kapten, biasanya ditawari (apa saja), mau aja mereka. Ada yang bermain seperti itu juga. Maskapai tutup mata. Tapi kita tidak ingin ini sampai sistemik.

Dalam buku Anda, salah seorang pilot menyatakan pernah ada masa-masa nyaman bekerja di Lion Air. Apa yang menyebabkan kondisi kerja berubah?

Ada dua sisi menurut saya. Satu sisi masifnya industri penerbangan, berubahnya pola industri penerbangan. Low-cost carrier (maskapai berbiaya murah) belum siap tapi sudah masuk ke dunia penerbangan. LCC kan gitu, sehingga yang biasa serba pelan tiba-tiba kayak dikejar-kejar, karena penerbangan semakin banyak dan masif.

Kalau yang pilot saya lihat itu case per case. Salah satu pilot menceritakan soal Lion dari masa awal Lion. Kata mereka, Rusdi Kirana sering hang out sama mereka, suasana kerja lebih kondusif. Kalau ada keluhan bisa disampaikan langsung.

Nah, ini yang menjadi tanda tanya besar, apakah manajemennya membesar tiba-tiba sehingga pengelola tidak punya kemampuan mengejar perkembangan yang luar biasa, atau memang tidak ada perbaikan.

Faktanya, teman-teman yang mengalami Lion Air di masa awal, mengaku happy-happy aja di awal―jam sesuai standar internasional, pola terbang enak, layanan di tempat tujuan baik.

Jadi kalau mereka menginap di mana, ditempatkannya juga baik, enggak ada keluhan. Dalam rentang waktu tertentu, terlihat Lion Air cukup sehat. Pilot yang bermasalah juga mengakui ada rentang waktu di mana mereka menikmati juga masa itu.

Selain pilot, siapa lagi yang mengeluhkan kondisi kerja di maskapai?

Pramugari lebih menyedihkan. Pilot ini agak mendingan sebetulnya. Gaji untuk cabin crew memang rendah di Lion.

Soal BPJS ini juga sama. Salah satu awak kabin cerita, dia berharap setelah selesai, dia mau bisnis. Dia udah hitung gajinya, kalau Jamsostek keluar dapat sekian dengan gaji dia. Ketika dicek, gaji yang dilaporkan lebih rendah dari pilot. Kebayang nggak, 5-10 tahun kerja enggak sampai Rp20 juta dapatnya.

Orang yang sudah punya angan-angan membangun bisnis setelah keluar (dari maskapai), ya harus dilupakan.

Sumber : 
close
==[ Klik disini 2X ] [ Close ]==